Ketika
keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam
dimulai.
Pada
tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville
mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat
itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun
beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di
Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung.
Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung
yang tertua pernah dicatat dalam sejarah.
Di
Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz
menemukan "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup
salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu
gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada tahun 1786
puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc
(4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi 8840 meter ditemukan.
Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet.
Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerja sama Sir
Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung
dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun
semakin ramai.
Di
Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu
"Perkumpulan Pencinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA
merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif
serta suci, terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata melepaskan nafsunya
dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa
cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya.
Sayang perkumpulan ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor
pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya
PPA bubar di akhir tahun 1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta
alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih
dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka,
tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk
mengabdi kepada negeri ini?.
"Sejarah
pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik
praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan
total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok
Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat
setelah mengadakan kerja bakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti
yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam
yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964
di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam
Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja.
Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat.
Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua
yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang
perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat
sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi
yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam.
Setelah
bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang
Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi
tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA
PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh
Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan
Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah
atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang
dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi
pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis
selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para
mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau
politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya
antar organisasi.
Dalam
tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik” Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung. Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki Mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampung-kampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah merasa sebagai pecinta alam.
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik” Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung. Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki Mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampung-kampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah merasa sebagai pecinta alam.
Dan
organisasi pencinta alam pun merambah MAHESA sejak awal berdirinya. Dimulai
dari puncak Gunung Bawakaraeng (2.830 Mdpl) pada tanggal 20 Mei 2007(Disepakati
sebagai hari jadi MAHESA), oleh 9 orang pendiri Mahasiswa Ekonomi Program
Reguler Sore UNHAS (Bintang Hidayat, Hastomo, Fajrul Iman Ibrahim, Apriansyah,
Ahmad Nasarudin, Asriadi, Muh.Hisyam, Suhardiman Sultan, dan Armawan Abdullah)
yang disetujui oleh M.Arfan yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua BEM
Fakultas Ekonomi Reguler Sore UNHAS(yang di kemudian hari karena bersimpatik
ikut bergabung dengan MAHESA dalam Angkatan I), kemudian disusul dengan
deklarasi yang diadakan di Puncak Gunung Bulusaraung (1.200 mdpl) pada tanggal
09 September 2007. Dalam perjalanan kali ini ikut serta Arnan Maulana, Seorang
Simpatisan (yang kemudian ditetapkan sebagai Simpatisan Pendiri). Pada periode
pertama Bintang Hidayat ditetapkan sebagai ketua umum MAHESA.
MAPALA,
Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam.
Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam.
Dalam
sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992) kegiatan
Mapala dapat di kategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam kaliber sport
beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi puncak gunung tinggi, turun ke
lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di ke derasan jeram sungai deras, keluar
masuk daerah pedalaman yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan Mapala
berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktivitas
meliputi pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran
gua (caving), pengarungan arus liar (rafting), penghijauan dan lain
sebagainya.
Tak
ayal lagi bahwa kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya harus
memahami konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan organisasi
ini. Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan kematian.
Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang tinggi ini, dibutuhkan
kesiapan mental, fisik dan skill yang memadai. Berbagai macam latihan dan
pengalaman terjun langsung ke alam dapat meminimalisir resiko yang akan
dihadapi. Tapi, di luar semua itu masih ada yang lebih berwenang untuk
menentukan hidup dan mati seseorang.
MAPALA,
Pencinta alam atau Petualang ? Dua nama, pencinta alam dan petualang
seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara
keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama
lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam),
sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit,
berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi
jelas disiratkan di mana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda,
meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain
pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah
yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan
enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat
dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan
tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam
sebagai medianya.
Kini
yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah
pencinta alam? begitu pun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai
medianya.
Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan
terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta
alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang
harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak
mereka pun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaan mereka belum
mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan
mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak.
Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau
bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih
dulu di citrakan, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu Cuma sebatas
“gaya” yang menggunakan alam sebagai alat.
sumber, Buku Panduan Diklatsar PAGAR 2009
sumber, Buku Panduan Diklatsar PAGAR 2009
Sejarah Pencinta Alam Serta Perkembangannya
4/
5
Oleh
Unknown